Peristiwa kebakaran yang menimpa Museum Nasional, Jakarta Pusat, pada Sabtu (16/9), amat disayangkan. Terlebih gedung bersejarah yang jadi lokasi Museum Nasional telah berdiri sejak 155 tahun silam.
Kebakaran itu diduga disebabkan oleh korsleting arus listrik dari bedeng proyek renovasi. Akibat kebakaran tersebut, bagian belakang gedung museum pun ambruk. Bangunan ini sendiri merupakan peninggalan Belanda.
“Ada 6 ruangan di Gedung A yang terdampak, sedangkan 15 ruangan lainnya di gedung A serta ruangan pamer gedung B dan C sama sekali tidak terdampak. Api tidak menyebar,” kata Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) Ahmad Mahendra melalui pernyataan pada Minggu (17/9).
Museum Nasional Indonesia menuturkan area yang terdampak kebakaran terdiri dari bagian belakang Gedung A, meski tidak menyebar luas. Karena itu, ruangan-ruangan lain di Gedung A, Gedung B, dan Gedung C, beserta isinya dipastikan aman. Usai kebakaran, Museum Nasional memutuskan untuk sementara ditutup bagi pengunjung.
“Sebagian koleksi yang terdampak adalah replika, seperti di bagian prasejarah. Sisanya dipastikan dalam keadaan aman. Kami secara intensif terus melakukan pengukuran dampak dan rencana tindak lanjut,” ungkapnya.
Sementara itu, Polisi mengaku kesulitan dalam membedakan puing bangunan dengan benda bersejarah yang terbakar di Museum Nasional.
Atas dasar itu, Kapolres Metro Jakarta Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin mengatakan turut melibatkan ahli artefak dalam mengusut insiden kebakaran ini.
“Kita sangat sulit membedakan mana-mana barang puing-puing reruntuhan, atau pun benda bersejarah, kita enggak paham,” kata Komarudin kepada wartawan, Minggu (17/9).
“Hingga saat ini tim gabungan masih bekerja dari Puslabfor penyidik Polda dan Polres, dan ahli artefak ataupun sejarah,” sambungnya.
Di sisi lain, Pelaksana Tugas Kepala Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya Ahmad Mahendra menuturkan hingga saat ini masih belum bisa menghitung kerugian yang ditimbulkan.
Sejarah Museum Nasional
Berdasarkan sejarah, Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun Gedung Museum Nasional pada 1862 dengan tujuan menampung koleksi himpunan yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG).
BG adalah lembaga independen yang bertujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah.
Bangunan ini diresmikan dan dibuka untuk publik pada 1868 dan langsung memperoleh perhatian dunia. Raja Thailand Chulalangkorn (Rama V) pernah berkunjung ke sana pada 1871.
Bukan hanya berkunjung, Raja Thailand Chulalangkorn juga menghadiahi museum ini sebuah patung gajah perunggu yang ditempatkan di halaman depan. Sampai sekarang, patung itu telah menjadi ikon dari Museum Nasional, yang kemudian juga dikenal sebagai Museum Gajah.
Pada 26 Januari 1950, museum ini berubah nama dari Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Perubahan ini terjadi karena Indonesia telah merdeka dari penjajahan Belanda.
Lalu, pada 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia. Setelah itu namanya berubah lagi menjadi Museum Pusat.
Kemudian pada 28 Mei 1979, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/ 0/1979, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional.
Sejak saat itu sampai hari ini, Museum Nasional berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI).
Di Museum Nasional terdapat sekitar 160.000 peninggalan bersejarah yang berupa koleksi prasejarah, koleksi arkeologi, koleksi numismatik dan heraldik serta koleksi geografi.
Sekitar 160.000 koleksi artefak sejarah berasal dari masa prasejarah sampai masa kolonial. Museum ini salah satu museum sejarah tertua dan terbesar, terlengkap dan terbaik dari jenisnya di Indonesia. Bahkan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara.
Museum Nasional juga menyimpan beberapa artefak penting dan berharga seperti koleksi emas Trowulan “Kelat Bahu”, yang terdiri dari perhiasan dan ornamen emas yang dibuat dengan rumit dari Kerajaan Majapahit, Patung Perunggu Amoghapasa dari abad ke-14, Patung Buddha Dipangkara perunggu, koleksi tertua patung Buddha di Museum Nasional dari abad ke-8 hingga ke-11.
(wiw)
[Gambas:Video CNN]
Sumber: www.cnnindonesia.com