Istilah bullying atau perundungan kini makin santer dibicarakan. Perundungan banyak menimpa anak dan terjadi di lingkup sekolah SD bahkan SMP.
Perundungan bukan cuma soal verbal atau kata-kata olokan semata, tapi juga sudah menyentuh ranah fisik. Mulai dari dicolok mata hingga buta sebelah sampai di-sleding yang membuat kaki korban harus diamputasi.
Sayangnya, kasus perundungan yang menimpa anak di sekolah kerap tak terselesaikan dengan baik. Pihak sekolah seolah menganggap enteng perilaku bully yang dilakukan siswa-siswinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya, perundungan dianggap sama dengan kenakalan anak-anak pada umumnya.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan, pihak sekolah memang bisa sangat abai terkait bullying atau perundungan yang terjadi pada siswa. Hal inilah yang membuat perundungan tak bisa benar-benar diberantas di sekolah.
“Banyak sekali kasus begitu yang tidak diselesaikan dengan baik. Dan ini sudah terjadi sangat lama. Sejak dulu bullying itu ada dan dibiarkan begitu saja. Paling pelaku hanya ditegur biasa,” kata Heru saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (13/11).
Kasus perundungan di sekolah yang banyak terungkap ke publik umumnya terjadi antar-siswa. Namun, Heru justru melihat bahwa perundungan tak hanya terjadi antar-siswa, melainkan juga antara guru dan siswa.
Tanpa disadari, terkadang guru juga melakukan perundungan terhadap siswanya. Misal, mengolok siswa dengan maksud guyon, tapi kata-katanya terlalu menyakitkan.
“Misalnya mengejek makanan atau bekal yang dibawa siswa seperti ulat sagu yang sempat viral. Itu sudah masuk kategori bullying oleh guru terhadap siswanya. Bullying verbal,” katanya.
Pemberantasan bullying di sekolah harus menyeluruh
Ilustrasi. Bullying di sekolah tak bisa benar-benar diberantas. (iStockphoto)
|
Memberantas bullying atau perundungan di lingkungan sekolah adalah PR yang harus dilakukan bersama. Bukan hal yang mudah memang, tapi harus benar-benar dilakukan.
Kata Heru, semua pihak harus terlibat. Bukan cuma guru dan murid, tapi juga orang tua hingga lingkup satuan pendidikan.
Dari pihak sekolah harus sangat sadar akan perilaku dan tekanan yang diterima semua muridnya. Caranya adalah dengan menghidupkan kembali guru BK atau bagian kesiswaan.
Hal yang selama ini salah dan banyak terjadi di sekolah adalah fungsi guru BK yang kerap disepelekan. Bahkan, sebut Heru, masih banyak sekolah yang tidak memiliki guru BK. Jika pun ada, guru BK biasanya guru mata pelajaran biasa yang ditunjuk merangkap sebagai guru BK.
“Dan mereka tidak memiliki latar belakang psikologis, tidak memiliki latar belakang BK saat mengenyam pendidikan. Dan ini adalah satu kesalahan pertama yang fatal,” kata dia.
[infog]
Guru BK, lanjut Heru, harus dibekali dengan kemampuan psikologis. Pasalnya, guru BK adalah mereka yang akan melakukan pendekatan dengan semua siswa, mendengarkan dan mencarikan solusi yang tepat bagi murid-muridnya, termasuk juga saat terjadi bullying.
Pasalnya, bullying tentu tidak terjadi begitu saja. Ada banyak alasan yang membuat seorang anak melakukan perundungan.
Dengan mencoba metode pendekatan dari guru BK, maka bisa diketahui bagaimana menyelesaikan bullying antar-siswa di sekolahnya.
“Jadi tidak akan ada istilah ‘ah itu kenakalan siswa biasa’, tidak akan ada lagi menganggap enteng perilaku anak muridnya. Karena dicek secara mendalam. Karena, ya, itu, ada latar belakang psikologisnya si guru BK ini,” kata dia.
Simak selengkapnya soal pemberantasan bullying di sekolah di halaman berikutnya..
Sumber: www.cnnindonesia.com